Berobat, antara Pasrah dan Putus Asa

Image

Suatu ketika seorang dokter menangani pasien yang koma di satu rumah. Pihak keluarga memanggil dokter untuk merawatnya di rumah saja, dengan memasang infus buat pasien. Dokter menolak, dan menyarankan agar pasien dikirim ke RS untuk mendapatkan perawatan yang layak. Pihak keluarga pasien adalah orang mampu. Maka dokter heran, mengapa kok pasien tidak dibawa saja ke RS. Jawaban mereka sebagai berikut :

“Dok, maap.. bukannya kita gak mau ke RS, tapi kondisi pasien sudah parah. Toh keliatannya sudah mendekati ajal. Ya kita pasrah saja sih dok. Mau diambil sekarang pun pasrah saja sama Yang Maha Kuasa. Wong sakitnya juga sudah lama… dan memang gak ada obatnya.” (Pasrah tanpa ikhtiar maksimal)

Memang akhirnya pasien meninggal juga, namun ada yang janggal dalam kata “pasrah” yang dikemukakan pihak keluarga.

Mari kita perhatikan kasus yang lain berikut:
“Bapak sudah lama kena hipertensi dok, ini stroke yang kedua. Kita berharap bapak bisa pulih, biaya berapapun keluarga gak masalah asalkan sembuh. Ya kita tahu, stroke itu kelainannya bisa permanen. Tapi kita mau bapak dirawat maksimal, siapa tahu Alloh SWT menghendaki pulih. Kalo masalah sembuh tidaknya kita pasrah saja.” (Pasrah dengan ikhtiar maksimal)

Pasien ini pun akhirnya juga meninggal. Karena memang kondisinya yang sudah parah. Namun kalo kita mau memperhatikan dua kasus di atas, ada perbedaan besar yang terdapat pada keduanya. Dan kalau tidak paham perihal ini, maka kita semua bakal terjebak sama tipuannya setan.

Pasrah adalah perilaku yang dianjurkan syariat. Arti kata ‘Islam’ sendiri salah satunya adalah bermakna ‘pasrah’. Karena polahnya setan, kata ini dirancukan serta diaduk-aduk dengan manis sehingga menyamai dan setara dengan kata ‘putus asa’. Padahal putus asa adalah perilaku kekapiran (kekafiran) yang sangat dilarang dalam syariat.

Dalam kedua kasus di atas, pembeda yang menjadikan jurang pemisah antara pasrah dan putus asa adalah “ikhtiar maksimal”.

Manakala ikhtiar maksimal tidak atau belum ditempuh, maka haram mengatakan bahwa kita sudah pasrah dengan ketentuan Yang Maha Kuasa. Kemaksimalan ikhtiar yang ditempuh berbeda-beda antara satu orang dengan yang lain sesuai kemampuan atau kesanggupannya.

Adalah kang Parman (bukan nama sesungguhnya) yang pendidikannya gak jelas, suatu ketika sakit demam tinggi. Sayang, kemiskinannya menyebabkan dia gak mampu beli obat ataupun berobat ke dokter. Karena mau sembuh, dia nyari obat ke laci meja di kamarnya, siapa tahu ada obat yang bisa diminum. Dan ternyata ada 2 butir obat yang dia gak tahu obat apa itu (lha wong dia buta hurup…) Akhirnya ya disikat saja 2 butir obat itu dengan berharap pada Alloh SWT semoga demamnya sembuh. Besoknya dia sembuh, dan beberapa hari kemudian ketemu dengan dokter serta menanyakan obat yang dia minum kemarin. Dia bawa bungkusnya. Setelah dilihat dokter, ternyata yang dia minum itu obat cacing… (wah.. ampuh tenan iki).

Belum ada korelasi yang ilmiah perihal bahwa obat cacing menyembuhkan demam. Tapi itulah ikhtiar maksimal yang bisa ditempuh oleh kang Parman karena tak mau menyerah hanya menunggu kesembuhan turun dari langit. Tapi kalau ini Anda yang lakukan, padahal dikaruniai otak kumlot (bukan kemelut), sarjana 3 bidang berbeda, duit turah mblasah, lalu pas demam minum obat cacing, padahal bisa googling dan yahooing… wahhh… terlalu.

Jadi disaat genting nyawa di ujung tanduk, jangan mau ditipu sama setan dengan menyamakan antara ‘pasrah’ dan ‘putus asa’. Apalagi sampai ngomong penyakitnya gak ada obatnya. Memang saat ini dunia medis kedokteran belum bisa menuntaskan semua problem penyakit. Tapi bukankah jalur yang ditempuh untuk sehat bukan hanya itu? Hanya saja jangan lantas masuk perangkap setan yang lain, yakni merdukun atau merkyai tapi dukun. Dan dieven begini ini, setan bisa dapat korban yang banyak (sak ikrak tumplak).

Alurnya mungkin begini:
Kondisi kritis ==> dibisiki dan ditanamkan bahwa sakitnya gak bisa sembuh ==> tak mau meneruskan usaha dengan mengkambinghitamkan kata pasrah.
atau begini :
Kondisi kritis ==> tetep semangat bahwa semua penyakit bisa sembuh ==> dibelokkan ke arah syirik dan jalan terapi yang haram semisal merdukun, ngunthal paru-paru celeng, minum darah, mangan daging gonggongan dlsb.

Waspada lur… jangan sampai terperangkap jerat setan. Yuk, pahami dan bedakan antara pasrah (tawakal) dan putus asa!! Berobat supaya selamat dunia akhirat.


Pasrah (Tawakkal) dan Ikhtiar dalam Islam
Alloh Swt. berfirman, “…Barangsiapa bertakwa kepada Alloh niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Alloh niscaya Alloh akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Alloh melaksanakan urusan yang (dikehendaki)Nya. Sesungguhnya Alloh telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.” (Ath Tholaq [65] 2-3)

Gigihnya ikhtiar, jangan sampai melemahkan tawakal kita kepada Alloh Swt. Dan, kuatnya tawakal kepada Alloh, jangan sampai melemahkan ikhtiar kita. Ikhtiar dan tawakal harus selaras, seimbang, beriringan. Inilah yang menjadi kunci agar kita mendapat pertolongan Alloh Swt.

Seimbangnya tawakal dan ikhtiar bentuknya adalah dengan serius dalam taubat, lurus dalam niat, bagus dalam ibadah, serius dalam memperbaiki diri. Dan, tentu saja serius juga dalam ikhtiar kita. Jangan sampai kita sungguh-sungguh dalam doa dan tawakal akan tetapi dalam ikhtiar kita alakadarnya saja bahkan berleha-leha.

Apalah artinya kerja keras kita kalau Alloh tidak menolong kita. Sekeras apapun upaya, kalau Alloh tidak ridho, tidak memberi pertolongan, maka tidak akan mencapai hasil yang diharapkan. Maka, maksimalkanlah ikhtiar kita sembari tetap bersandar dan bergantung hanya kepada Alloh Swt. Tidak perlu berharap-harap pada penilaian makhluk, tidak perlu bergantung pada balasan dari makhluk. Fokuskan saja pada ikhtiar kita semaksimal mungkin, sebaik mungkin, jauhi hal-hal yang tidak Alloh sukai dan berserah diri kepada-Nya.

Tawakal dan ikhtiar semestinya adalah satu kesatuan, harus sama-sama kencang, sama-sama serius, sama-sama sungguh-sungguh. Inilah yang akan mengundang datangnya pertolongan Alloh Swt. Semoga kita termasuk orang-orang yang mendapatkan pertolongan-Nya. Aamiin yaa Robbal’aalamiin

Imam Ibnul Qayyim berkata: “Tawakkal kepada Alloh adalah termasuk sebab yang paling kuat untuk melindungi diri seorang hamba dari gangguan, kezhaliman dan permusuhan orang lain yang tidak mampu dihadapinya sendiri. Alloh akan memberikan kecukupan kepada orang yang bertawakkal kepada-Nya. Barangsiapa yang telah diberi kecukupan dan dijaga oleh Alloh Ta’ala maka tidak ada harapan bagi musuh-musuhnya untuk bisa mencelakakannya. Bahkan dia tidak akan ditimpa kesusahan kecuali sesuatu yang mesti (dirasakan oleh semua makhluk), seperti panas, dingin, lapar dan dahaga. Adapun gangguan yang diinginkan musuhnya maka selamanya tidak akan menimpanya. Maka (jelas sekali) perbedaan antara gangguan yang secara kasat mata menyakitinya, meskipun pada hakikatnya merupakan kebaikan baginya (untuk menghapuskan dosa-dosanya) dan untuk menundukkan nafsunya, dan gangguan (dari musuh-musuhnya) yang dihilangkan darinya”

Bertawakal sepenuhnya kepada Alloh dan berikhtiar (berusaha) semaksimal mungkin adalah satu prinsip hidup utama yang harus dipegang seorang muslim. Jika mengimani dan meyakini bahwa Alloh yang metakdirkan segala sesuatu maka sudah semestinya bertawakal kepada Alloh semata. Bukan bersandar pada diri sendiri, bersandar pada usaha yang lakukan atau bersandar pada makhluk lainnya yang sama-sama lemah. Alloh ta’ala berfirman,


وَعَلَى اللّهِ فَتَوَكَّلُواْ إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ
“Dan hanya kepada Alloh hendaknya kamu bertawakal, jika kamu benar-benar orang yang beriman.” (QS. Al Ma’idah: 23)

Namun perlu difahami bahwa tawakal yang benar adalah tawakal yang disertai dengan ikhtiar (usaha). Telah menjadi sunnatullah bahwa segala sesuatu memiliki sebab dan akibat. Tidak benar jika ada orang yang mengatakan bertawakal kemudian berpangku tangan dan meninggalkan sebab atau ikhtiar. Pada hakekatnya orang yang seperti ini bukan orang yang bertawakal, tetapi seorang pemalas. Alloh memerintahkan bertawakal dan Alloh juga yang memerintahkan untuk mengambil sebab. Alloh tidak akan mengubah keadaan seseorang atau suatu kaum jika mereka tidak berusaha mengubahnya sendiri. Alloh berfirman,


إِنَّ اللّهَ لاَ يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُواْ مَا بِأَنْفُسِهِمْ
“Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS. Ar Ra’du: 11)

 

Sumber: pitutur.net, smstauhiid.com, muslim.or.id, ukhuwahislamiah.com (dengan perubahan)

Oleh: admin hidup sehat, hidup bahagia | cara menghilangkan komedo

 

.

Komentar